Kukira “a” Ternyata “A”

"Ayo nak!" ujar ayah.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayah tiba-tiba mengajak aku untuk pergi tak tau hendak kemana.
Sambil menggenggam jari-jari mungilku, sang ayah berkata,
"Sampai besar, adik jangan pernah melupakan tempat ini ya!"
Aku hanya mengangguk tanpa mengetahui alasan lebih dari perkataan ayah.
..
Ketika fajar tiba, suara ayah memecahkan keheningan.
"Nak, ayo bangun .."
"Hmm .. ada apa yah?" Ujarku dengan perasaan sedikit jengkel dan keadaan masih mengantuk.
"Udah ayo bangun dulu. Kita siap-siap terus ikut ayah"
"Huuamm, iya-iya" kataku sambil menguam melawan rasa ngantuk.
Setelah siap-siap, aku masih terheran-heran mengapa ayah mengajakku pergi sedangkan pemandangan langit masih gelap diselimuti suhu yang sangat dingin.
"Brrr.. dingin yah, adik masih ngantuk lagi" kataku.
"Sini ayah gendong" ujar ayah.
..
Akupun digendong ayah. Hangat pelukan ayah melupakanku akan dingin yang menyelimuti waktu itu. Namun tidak dengan rasa kantukku.
Sambil berjalan, ayah mengucapkan untaian-untaian bahasa yang tidak aku mengerti.
"Yah emang kita mau kemana sih? jauh lagi nggak?"
"Enggak jauh kok" ujar ayah
Pertanyaan itu selalu aku lemparkan ke ayah bertubi-tubi. Namun ayah tetap sabar menjawab dengan jawaban yang sama.
..
"Kita sampai" kata ayah.
"Hah tempat kemarin? kok kesini lagi sih yah. Adik bosan. Jangan lama-lama ya yah" kataku dengan nada kesal.
"Iya, adik disamping ayah aja ya. Ikutin aja apa yang ayah lakukan". Ujar ayah.
"Tapi disini kan gak ada anak-anak yah" balasku.
Ayah hanya tersenyum dan menyuruh aku mengikuti apa yang dilakukannya saat itu.
Setelah selesai, akhirnya kamipun pulang. Ayah kembali menggendongku menuju rumah. Tak terasa terkadang aku terlelap di gendongnya, dan terbangun diatas tempat tidur saat pagi. Begitu seterusnya. Setiap hari selama lima kali kami pergi ketempat itu. Sampai-sampai aku sudah siap, sebelum ayah mengajak. Kecuali di waktu fajar dimana aku sedang nyenyak terlelap. Juga di waktu matahari akan tenggelam dimana aku masih asyik bermain dengan teman-teman. Biasanya ayah akan berteriak dari luar rumah,
"Pulang nak, udah mau maghrib"
Aku langsung lari dan masuk kamar mandi karena takut ayah akan marah apalagi terkadang sampai membawa ikat pinggangnya.
Sampai suatu waktu saat kami akan ketempat itu lagi, aku memaksa ayah untuk menjawab pertanyaan kenapa aku harus selalu ikut ayah menuju tempat itu. Seketika itu ayah diam dan mencoba membungkuk sampai kepalanya sejajar dengan kepalaku. Kemudian kedua tangannya diletakkannya di bahuku. Kulihat matanya berkaca-kaca seakan ingin menyampaikan jawaban dengan penuh sungguh-sungguh.
"Nak, kamu mau nggak bahagiakan ayah? kamu mau nggak bantu ayah? kamu mau nggak membanggakan ayah? Kamu mau nggak lihat ayah senang" ujar ayah yang mendaratkan beberapa pertanyaan yang menurutku jawabannya sama.
"i..iya pa..pasti mau lah yah" jawabku dengan terbata-bata.
"Nak, ayah kasih tau. Setiap anak yang baik, pasti mau orangtuanya senang. Setiap orangtua, menginginkan anaknya menjadi apa yang di harapkannya. Dan ayah ingin kamu melakukan ini terus sampai dewasa untuk menyenangkan ayah. Itu sudah cukup. Tak perlu yang lain, oke!" ujar ayah.
"O..oke" balas ku dengan kondisi masih belum terlalu mengerti maksud yang sebenarnya.
"Janji ya, Oke cas dulu" Kata ayah sambil mennyodorkan kelima jarinya didepanku. Aku hanya mengangguk sambil membalas dengan menepuk tangan ayah.
"Nanti kamu akan mengerti nak" ujar ayah saat akan mencoba menggendongku.
...
Bersambung ...
..
Komentar
Posting Komentar