Kukira “a” Ternyata “A”

Tulisan ini terinspirasi dari salah satu ilustrasi penulis dengan tema “Don’t judge people based on social media” yang menimbulkan perbedaan pemaknaan dari yang melihatnya. Tanggapan-tanggapan itu penulis dapatkan dari komentar di grub maupun media sosial penulis yang akan diikutsertakan dalam tulisan ini. Terimakasih atas tanggapan dan masukan mengenai ilustrasi ini. Penulis akan coba memberikan maksud yang sebenarnya dibalik ilustrasi tersebut dan akan coba membahasnya dengan membaginya menjadi beberapa poin.
A. Makna objek pada ilustrasi
Ilustrasi tersebut termasuk ilustrasi konseptual, karena mengandung makna yang bisa diinterpretasikan sendiri oleh yang melihatnya. Seringkali ilustrasi tersebut memberikan makna tanpa ada keterangan teks didalamnya. Ilustrasi tersebut sengaja dikonsep dengan segala objek dan detail-detailnya.
- Pertama, pada ilustrasi tersebut, terlihat seseorang pria “Muslim” yang mengenakan atribut peci dan baju “koko” berwarna putih. Hal itu bisa dipahami sebagai seseorang yang soleh, baik, akan/sedang beribadah, dll. Pemilihan warna putih juga mendukung kesan suci, bersih, dan hal baik lain semaknanya. Kemudian si pria tampak sedang bermain handphone untuk menunjukkan identitasnya tersebut di media sosial. Teringat yang tiba-tiba kampannye/blusukan ke tempat bencana atau peribadatan dengan atribut seperti itu sebagai alat menarik simpati (wadidaw). Padahal setelah itu memiliki kepentingan lain atau malah ketangkep korupsi (ninuninu).
- Kedua, disisi lain, terlihat di meja terdapat sebuah botol bertuliskan kata “Bear”. Penulis berasumsi bahwa orang yang melihat pasti sudah tau atau ngeh nganggap itu sebagai botol minuman bir, apalagi pada mulut botol kelihatan ada seperti buih yang biasanya keluar saat tutup botol bir dibuka (loh kok tau? wkwk).
Sehingga yang awalnya penulis memberikan label dengan kata “beer”, kemudian penulis plesetkan menjadi “bear” karena berpikir bahwa kedua kata tersebut kedengarannya hampir sama. Dan berharap ada pemaknaan ganda dari kata “bear” yang berarti susu beruang. Penulis juga ingin menyampaikan bahwa air susu beruang itu juga pada dasarnya juga tidak boleh dikonsumsi dalam islam, karena kebanyakan ulama berpendapat bahwa air susu hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya dihukumi najis. Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan minum air susu hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti air susu beruang, harimau, srigala, kucing, dan lainnya (Wallahu a’lam). Dan mungkin juga berbahaya kalau memerah susu beruang asli, karena cukup beresiko juga, kecuali yang ngambil adalah khabib nurmagomedov (petarung UFC yang lathan gulat dengan beruang, wkwk).
(Conor Mcregor vs Khabib & orang yang berusaha memerah air susu beruang asli - canda)
Atas dasar kedua kata tersebut mengandung mkna sama-sama tidak boleh dikonsumsi, maka plesetan kata “beer” menjadi “bear” penulis rasa cukup tepat. Alasan lainnya, penulis menduga bahwa ada yang akan berkomentar bahwa itu susu “bear brand” (Susu Sapi Berlogo Beruang, dan Iklan Bergambar Naga) dan itu tidak masalah dikonsumsi. Sehingga pemilihan kata “bear” semakin menarik untuk penulis pilih.
(susu gambar beruang)
Namun memang ada yang menyarankan alternatif lain yaitu dengan menggunakan kata “Bier” yang berarti tandu jenazah. Dikarenakan kata “Bear” itu dibaca seperti "ber". Sehingga tidak terlalu mirip.
- Ketiga, terlihat adanya perbedaan bagian tubuh si pria. Dimana bagian atas yang tersorot cahaya handphone itu bewarna dan yang tidak tersorot seperti negative effect. Dimana negative effect ini adalah kebalikan warna pada suatu gambar, misalnya yang hitam akan jadi putih, dan yang putih menjadi hitam. Hal ini juga mengandung bahwa selain bagian yang tersorot cahaya handphone (pria dengan atribut kebaikan), memberikan kesan perilaku si pria yang berlawanan (minum khamr).
(contoh negative effect)
Terlihat juga si pria tersebut sedang memegang gelas yang sudah diisi minuman bir tersebut untuk kemudian diminum. Selanjutnya tulisan “Don’t judge people based on social media” yang diletakkan di belakang si pria dengan tujuan agar seseorang memahami bahwa “manusia didepan seperti ini, dibelakang beda lagi.” Makna tersebut lebih lengkap akan dibahas pada poin berikutnya.
B. Makna “Don’t judge people based on social media”
Secara terjemahan Don’t judge people based on social media berarti jangan menilai seseorang dari media sosialnya. Kemudian muncul pendapat antara lain:
1. Polisi menangkap penjahat berdasarkan status sosmed banyak terjadi kok
2. Kepoin medsos calon pasangan pas ta’aruf juga bisa kok.
3. Menilai itu meemang dari yang terlihat, susah menilai dari hati.
Jawaban
Pendapat tersebut benar, dan penulis tidak ingin pembenaran diri. Namun kalau hanya dinilai dari sosial media, maka hal itu kuranglah tepat. Biasanya hal tersebut membantu kita mendapatkan informasi lebih, dalam menilai seseorang. Dan hal tersebut menjadi benar ketika kita dapat membuktikannya di dunia nyata, baik melihat hal yang serupa pada seseorang, maupun langsung menanyakannya. Dikarenakan dunia maya adalah dunia kedua bagi seseorang, dan dia bebas memilih seperti apa branding yang diinginkannya.
Kalaulah seperti itu yang dimaksud, maka benar adanya. Dan itu juga dilakukan untuk menangkap pelaku diduga teroris misalnya. Hal itu mudah bagi polisi, karena Polri bisa melacak pemilik akun Facebook atau medsos lainnya meskipun palsu, sebab mereka telah bekerjasama dengan FB/medsos lain sebagai lembaga yang harus tunduk pada ketentuan proses penegakan hukum di negara tempat ia beroperasi. Pendapat komentar pertama kurang tepat dengan konteks yang ilustrasi sedang dimaksud, konteks ini lebih kepada sebatas penilaian seseorang itu seperti apa, baikkah atau burukkah seseorang di dunia nyata. Bukan sampai kepada penangkapan seseorang, hehe.
Untuk pendapat kedua hampir sama dengan HRD
yang kadang ingin melihat calon karyawannya seperti apa di media sosial,
sehingga membantu mereka untuk memutuskan apakah orang tersebut layak atau
tidak. Dan untuk pendapat ketiga penulis sepakat, tapi konteks yang dimaksud
disini adalah jangan menilai seseorang dari media sosialnya saja, bisa saja
perilakunya diluar itu berbeda dengan yang ada di media sosialnya. Bukan
tentang jangan menilai seseorang dari
ucapannya, karena bisa jadi yang ada di hati/pikirannya itu berbeda (munafik). Itumah smart people (baca: dukun) juga tidak bisa menerawang.
Dalam konteks ilustrasi dapat dilihat
bahwasanya seseorang yang tampak alim di aktivitas media sosialnya, belum tentu
seperti yang orang persangkakan. Bisa jadi dia memiliki keburukan lain yang disembunyikannya di media sosial atau yang ditunjukkannya di dunia nyata. Betapa banyak contoh kasus seseorang yang tampak baik, ternyata itu dijadikannya alat untuk menikahi banyak wanita baik-baik, dan
sikapnya berubah 360 derajat setelah itu. Betapa banyak yang nampaknya baik, namun korupsi,
cab*l, dan ingkar janji? Ada? Penulis harap pembaca pernah mendengar semua
contoh kasus diatas. Namun lagi-lagi, tidak semuanya seperti itu.
Hal ini berlaku untuk atribut lain, misalnya yang tampak sebagai wakil rakyat, namun di sisi lain adalah menyengsarakan rakyat, seseorang yang tampaknya pembela keadilan, namun ternyata membela yang bayar (ninuninu, somasi). Kalaulah boleh menilai dari media sosialnya, maka apakah kita menyangka dia akan melakukan hal keji demikian? Semua hal tersebut bisa dijadikan ilustrasi serupa.
Tapi tetap berprasangka baiklah kepada
orang lain, dan hindari berpikir yang tidak-tidak. Jadi, apakah salah menilai
seseorang dari media sosial? siapapun tetap bebas menilai seseorang, namun apabila
hanya menilai dari media sosial, maka belum tentu cukup dan benar. Dan
apabila penilaian itu tidak benar dan di ceritakan ke orang lain, bahwa si fulan
seperti ini itu, maka jatuhnya kan jadi fitnah. mending tidak usah sibuk menilai seseorang baik di media sosial maupun dunia nyata. Apalagi sengaja mencari aibnya. Hiduplah damai dengan duniamu, dan biarkan mereka menikmati hidupnya. Hidup ini terlalu buruk, jika sibuk mengurusi urusan orang lain apalagi membanding-bandingkan diri dengan orang lain (Quotes bapak-bapak yang kemarin numpang lewat dihadapanku).
C. Resepsi Khalayak (bukan resepsi pernikahan)
Pada bagian ini, penulis akan coba mengaitkannya dengan teori resepsi karya Stuart Hall, dimana inti dari teori ini memaparkan bahwa apa yang dimaknai oleh si pembuat pesan dalam sebuah media, bisa jadi berbeda pemaknaannya oleh khalayak. Hal itu karena dipengaruhi faktor latar belakang seperti pengalaman, pendidikan, agama, usia, jenis kelamin, dll.
Apabila dikaitkan dengan ilustrasi tersebut, jelas sudah ada tanggapan yang berbeda terkait konsep dari ilustrasi tersebut. Misalnya:
- botol bir yang kelihatan seperti bentuk botol kecap, hehe
- Kata “bear” yang dimaknai sebagai bear brand, padahal tidak ada kata brandnya.
(Susu beruang halal bagi anaknya)
(Ada juga yang menganggapnya sebagai darah beruang beneran)
- Dan “bear” dianggap kurang tepat untuk diplesetkan, dll.
- Makna “Don’t judge people based on social media” yang tidak sepenuhnya disepakati, karena dianggap kurang tepat. Ini juga menunjukkan orang tersebut kritis dan tidak serta merta dalam menerima sebuah pesan.
Hal itu wajar, dan menambah referensi serta masukan bagi ilustrasi tersebut. Penulis juga menyadari bahwa ilustrasi dan pesan yang ingin disampaikan kurang mendukung dan tepat. Tanggapan tersebut juga membuktikan bahwa apa yang dimaksud dan ditujukan penulis dalam membuat ilustrasi tersebut bisa dipahami berbeda-beda oleh khalayak yang melihatnya. Semua orang memiliki alasan dan latar belakang yang mempengaruhi mereka dalam memberikan tanggapan.
D. Kesimpulan
Ada beberapa kesimpulan yang didapat dari tulisan ini:
- Susu beruang itu boleh diminum, apabila yang dimaksud adalah bear brand.
- Jangan minum-minuman keras lagi memabukkan, khususnya bagi muslim.
- Setiap orang bisa branding seperti apa di media sosial, dan siapapun bebas menilai seperti apa seseorang
- Yang tampaknya baik di media sosial, belum tentu baik pula di media sosial. Begitupun sebaliknya.
- Setiap orang memilki pemaknaan antara satu dengan yang lainnya. Dan latar belakang setiap orang, sangat mempengaruhi bagaimana dia menanggapi sesuatu.
- Selalu kritis dengan statement yang ada. Jangan langsung diterima dan ditelan mentah mentah.
- Tidak memojokkan atribut tertentu, contoh itu adalah yang paling mudah digambarkan. Dan jangan berhenti menggunakan atribut tersebut untuk foto di media sosial ataupun dikenakan dalam keseharian.
- Berikan saran, kritik dan masukan yang membangun kepada orang lain apabila diperlukan.
Tulisan ini dibuat karena menimbulkan beberapa komentar, berbeda dengan ilustrasi penulis lainnya. Dan tulisan ini dibuat karena sudah 4 bulan tidak ada tulisan yang menghiasi di blog ini. Dan apabila ada tanggapan, saran, kritik dan komentar silahkan lempar di bawah.
Terimakasih atas segala tanggapannya, penulis terima dan sangat menghargai semuanya. Semoga menjadi pertimbangan penullis untuk membuat ilustrasi konseptual yang lebih baik lagi kedepannya. dan terimakasih atas perhatiannya.
RAD (05/07/2022)
__________________________
Tanggapan lain
(yang mau saya di somasi)
(bebas share, apabila ada manfaat)
Komentar
Posting Komentar