Kukira “a” Ternyata “A”

Selamat Tinggal Masjid Arfa’unnas
(2018-2022)
Memang, perpisahan kali ini bukanlah tentang berpisahnya seorang insan dengan insan lainnya. Namun rasa sedih yang dihadirkan, cukup membuat seseorang mengatakan bahwasanya diriku sedikit berlebihan. Adalah aku, yang harus berpisah dengan masjid Arfa’unnas. Niat hati, tak ingin berpisah. Namun apalah daya, memang tiada daya. Benar, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Dan berpisah, bukan berarti melupakan. Bagaimana mungkin seseorang bisa melupakan sesuatu, apabila hal itu sangatlah berkesan di dalam skenario hidupnya. Dan aku memutuskan, bahwa Masjid Arfa’unnas adalah suatu hal yang amat berkesan dan tak akan pernah kulupakan dalam hidupku selamanya. Aku berjanji untuk itu.
…
Secuil kisah pada waktu itu, seorang mahasiswa baru yang akhirnya bisa melanjutkan kuliah setelah melewati hiruk pikuknya kebimbangan dan perjuangan. Ia berjalan menuju masjid kampus yang tak jauh dari kos yang baru saja ditempatinya. Di dalam masjid itu, ia berdo’a agar bisa tinggal di suatu masjid, dengan tujuan untuk meringankan beban biaya kuliahnya. Kebiasaannya adalah berangkat lebih awal, kemudian azan di masjid itu dikarenakan tidak ada yang azan sedangkan waktu shalat sudah masuk.
Hari ketiga, ia dipanggil oleh pengurus masjid itu untuk ditanyai beberapa hal. Panggilan itu berujung dengan sebuah kabar baik baginya. Ia di rekrut di masjid itu. Ia bersyukur karena doanya dikabulkan. Dan ia gembira karena bisa tinggal di masjid kampus itu. Ya, masjid itu adalah Masjid Arfa’unnas Universitas Riau. Bertempat di jalan binawidya, panam. Dan terlihat warna biru yang menjadi icon warna masjid tersebut pada waktu itu. Shalat dilaksanakan di lantai dua, sehingga selain mendapatkan pahala, orang yang shalat disitu akan mendapatkan otot kaki karena harus menaiki tangga.
Ia kemudian izin kepada ibu kosnya, meskipun uang kosnya sudah dibayar di awal untuk satu bulan kedepan. Meskipun ia merasa sedikit rugi, namun kerugian itu dikalahkan dengan rasa gembiranya.
Ketika sudah resmi tinggal di masjid itu, Ia berpikir bahwa tugasnya di masjid itu hanyalah azan, namun ternyata sekaligus merangkap menjadi imam. Memang, mejadi imam merupakan hal yang biasa saat di masjid kampungnya. Namun, ketika di masjid kampus dia merasa sedikit berbeda. Pikirannya dihantui dengan menganggap masjidnya yang cukup besar, jamaahnya yang mungkin sangat ramai, makmumnya yang bisa saja merupakan seorang dosen, pejabat, polisi, Qory bahkan seorang hafiz Qur’an. Belum lagi harus fokus dengan ayat yang dibaca, irama, jumlah rakaat, dan niat yang ikhlas. Sebenarnya ia merasa tidak pantas ada didepan. Kalau bisa memilih, dirinya lebih senang berada dibelakang imam daripada harus menjadi imam. Namun itu adalah suatu keharusan yang harus dilaluinya. Meskipun hanya bermodalkan suara cempreng dan setitik keberanian.
Dua tahun berlalu, hadirlah seorang ustadz sekaligus hafizh 30 Juz. Namanya adalah Ustadz Tajuddin Nur, Lc. Al Hafizh (rahimahullah). Dirinya merasa senang dengan kehadiran ustadz tersebut, karena berarti ada yang menjadi imam dengan hafalan 30 juz dan bersuara merdu. Sehingga pada saat itu dirinya menjadi imam kedua dan juga muazin. Ustadz Tajuddin hadir tidak hanya menjadi imam dan sosok ustadz di masjid itu, namun juga menjadi ayah bagi dirinya dan teman-temannya yang tinggal di masjid itu. Ustadz Tajuddin kerap kali membawakan makanan, karena tau mahasiswa seperti dirinya sangat senang akan hal itu. Ustadz Tajuddin kerap menanyakan kondisi kuliah dan keluarganya, serta memberikan solusi dan nasihat dalam menjalani hidup, terutama untuk tetap semangat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Bersama Ustadz Tajudin kemudian mereka mengadakan tahsin di masjid Arfa’unnas.
Kurang lebih setahun kemudian, kabar duka menyelimuti Masjid Arfa’unnas dan banyak orang diluar sana. Betapa tidak, mereka terpaksa harus menelan pahitnya kenyataan bahwasanya Ustadz Tajudin telah meninggal. Meskipun tidak ada hubungan darah kekeluargaan, dirinya menangis dan merasa sangat sedih, seperti kehilangan keluarganya sendiri. Seorang ustadz yang tidak pernah marah, selalu mengajarkan ilmu dan Al-Qur’an (amal jariyah), serta memiliki akhlak yang baik. Dirinya sedih kembali, karena dirinya harus menjadi imam lagi, sendiri.
Ketika di masjid, memang banyak keberkahan yang dia dapatkan. Beban biaya kuliahnya memang sangat berkurang mendekati tidak ada. Setelah semester satu, ia tidak lagi mendapat ataupun berusaha meminta biaya dari keluarganya. Masjid turut andil dalam memberikan keberkahan bagi perkuliahannya. Shalat yang terjaga, lokasi fakultasnya yang dekat, full wifi, dan AC. Semua itu mensupport dirinya untuk fokus akan tujuan, lulus pada waktu yang tepat.
Beberapa waktu kemudian, dirinya bahagia telah dapat menyelesaikan ujian akhir. Namun kebahagiaan itu harus bercampur larut dengan kesedihan. Kesedihan karena harus berpisah dengan masjid Arfa’unnas. Suatu keharusan yang harus dijalani, buah dari selesainya misi perkuliahan. Berat dan tak pernah terbayang akan seberat itu baginya.
Namun lagi-lagi, perpisahan adalah opsi menyakitkan yang sengaja dan terpaksa harus dipilih. Tiada lagi tangga tempatnya merenung di kesendirian, dan tiada lagi terdengar suara cempreng nan sunbangnya. Yang selalu ada hanya rasa bangga dihatinya, bisa menjadi bagian dari situ.
…
Terimakasih kepada seluruh pengurus masjid yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Yang telah memberikan kesempatan dan membantu mengukirkan kenangan indah didalam sejarah masa muda. Dan juga kepada Ustadz Tajudin Nur, Lc. Al Hafizh (Rahimahullah), yang telah memberikan support dan ilmu yang luar biasa selama di kampus.
Semoga masjid Arfa'unnas UNRI lebih baik dan berkembang lagi kedepannya, dan diganti dengan orang-orang yang lebih hebat lagi nantinya. Semoga aku bisa selalu menyempatkan diri untuk shalat disana, sekaligus mengingat setiap sudut yang telah diisi oleh kenangan-kenangan. Aamiin.
____________
RAD
12/08/2022
Komentar
Posting Komentar