Kukira “a” Ternyata “A”

Aat adalah nama salah seorang pemuda yang mungkin patut dicemburui dan dicontoh pada saat ini. Dia memiliki kekurangan akal dan fisik, tidak seperti pada orang normal lainnya. Dia sulit untuk berbicara, kendatipun berbicara, sulit untuk dipahami. Tubuhnya tak bertumbuh kembang layaknya orang yang sedang menuju dewasa, sehingga penulis sempat terkecoh setelah mengetahui bahwa usianya lebih tua dari penulis. Dirinya tidak bisa melanjutkan sekolah, karena keterbatasannya tersebut.
Apakah kekurangan seperti itu yang perlu dicontohi? Tentunya bukan..
Aat tinggal di salah satu desa, yang disana dia tidak memiliki teman sebaya dalam kesehariannya. Hanya ada Kakeknya, yang senantiasa mengurus dan menemaninya.
Secara sekilas tiada yang istimewa dari diri seorang Aat. Sampai kita melihat dan menyadari beberapa hal yang istimewa dari sosoknya.
Setiap hari, Aat selalu hadir ke Masjid sebelum waktu shalat, dan itu lima waktu sehari semalam, every single day.
Setiap masuk waktu shalat, Aat segera menghampiri dan meminta penulis untuk azan dan menjadi imam. Saat penulis minta Aat azan, dia memberikan isyarat yang menandakan dirinya tidak bisa. Namun dirinya sudah bisa Iqomat dengan segenap kemampuannya. Pada saat itu bulan Ramadhan, Aat juga sangat semangat membawa persiapan buka bersama dari rumah kakeknya menuju ke Masjid setiap harinya. Dan mengajak setiap orang yang ditemuinya.
Aat selalu ramah dan sopan kepada setiap orang yang ditemuinya. Setiap bertemu penulis, Aat selalu menyalami penulis dengan menempelkan keningnya ke tangan penulis, layaknya salaman yang dilakukan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua. Setelah mengetahui bahwa umur Aat lebih tua, penulis berusaha untuk menahan kebiasaan salamnya itu, dengan salaman layaknya teman sejawat, meskipun pada beberapa kesempatan dirinya tetap memaksa.
Penulis bertemu Aat saat liburan, berlokasi di kampung nenek yang berjarak 3 Jam dari kota Medan. Setiap sebelum dan selesai shalat, penulis selalu bertemu dan berbicara ringan dengan Aat. Sebatas seperti menanyakan "Apakah Aat sudah makan? Apa lauknya? Nambah ga? Sukaknya makan apa?"
Sebelum akhirnya penulis harus kembali ke Riau untuk kembali bekerja, penulis mengajak Aat ngobrol untuk mengetahui latar belakangnya lebih dalam. Meski penulis tidak berharap Aat akan bisa menyampaikan itu dengan baik, mengingat kekurangan yang dimilikinya.
Beberapa pertanyaan menarik yang mungkin penulis lampirkan disini:
"Orangtua Aat dimana?"
(Jujur sulit untuk menulis kembali jawaban Aat, karena Aat sulit untuk mengungkapkan sesuat hal dengan jelas. Namun penulis berusaha memahami dengan keras setiap jawaban yang diberikan).
Ternyata Aat sudah kehilangan Ibu dan Ayahnya, bahkan sejak ia masih kecil. Waktu yang sangat singkat untuk Aat merasakan kasih sayang orangtua. Penulis lupa, apakah Aat masih ingat wajah orangtuanya atau tidak, yang jelas Aat masih punya salah satu foto lawas diantara keduanya.
"Aat masih sedih ga sampai sekarang?"
Aat menjawab bahwa dirinya sedih, tanpa menunjukkan ekspresi beratnya kehilangan orang yang dicintai. Dalam pikiran penulis, mungkin Aat pada saat itu masih bener-bener polos, sehingga momen itu mungkin tidak terlalu berbekas.
“Kenapa Aat rajin datang ke Masjid?”
Aat bilang dia cuma mau doakan orangtuanya setiap hari sambil menunjukkan isyarat tangan yang menengadah/berdoa. Pada fase ini, wajah Si Aat mulai sedikit emosional dan nada bicaranya sedikit menurun. Tapi satu hal yang pasti, Aat mungkin sudah dipahamkan bahwasanya ada kehidupan setelah kematian. Orangtuanya udah duluan, dan Aat bisa ketemu lagi suatu saat nanti. Sehingga itulah alasan dia rajin berdoa.
Banyak pertanyaan yang penulis tanyakan, mulai dari masa kecil, kesukaannya, dan hal lainnya yang penulis juga sudah tidak mampu mengingatnya lagi serta selalu tertunda untuk segera menjadikannya sebuah tulisan. Selama percakapan berlangsung, entah berapa kali air mata penulis menetes, syukurnya berhasil penulis sembunyikan.
Air mata yang turun tersebut bukan tanpa alasan. Ngebayangin seorang pemuda, yang tumbuh dengan kondisi spesial (maaf pada paragraf ini sepertinya penulis harus meralat setiap kata “kekurangan” yang melekat pada gambaran diri si Aat, dan menggantinya dengan kata “spesial”), yang sudah tidak lagi mendapatkan kasih sayang orangtuanya.
Dengan kondisi yang seperti itu, dia tidak lupa dengan Rabb-Nya. Istiqomah datang ke Masjid yang bisa jadi dirinya tidak hafal bacaan shalat. Dikala orang seumuran dan orang dewasa lainnya sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Tetapi ia tetap menunjukkan baktinya kepada orangtuanya, dengan senantiasa mendoakannya.
Penulis tidak tahu apakah dia pernah merasakan kesepian, mempertanyakan kenapa kondisinya seperti itu atau berbeda dengan orang lainnya, bagaimana cara dia mendapatkan hiburan, apakah dia mendapatkan kebahagiaan setidaknya dari memiliki akun media sosial atau game online seperti pemuda pada umumnya, apakah dia memiliki kecemasan akan bagaimanakah nasibnya di masa depan, memikirkan siapakah jodohnya, atau pikiran-pikiran yang mucul pada anak seusianya.
Yang jelas, Aat Bahagia dengan dunianya saat ini. Bahagia dengan takdir yang diberikan pada dirinya. Bahagia dengan standar yang diciptakan dan dijalaninya sendiri. Tanpa tahu dan mengambil standar hidup orang-orang diluar sana.
Banyak manusia berpikir bahwa Allah tidak adil karena menciptakan banyak hamba-Nya yang tidak sempurna di dunia ini. Padahal yang Allah lihat bukanlah fisik, melainkan hati dan amal. Itulah bukti adilnya Allah, tidak peduli tampan/cantik, kaya/miskinnya seseorang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).
Kita berpikir bahwa orang-orang seperti Aat itu patut dikasihani, padahal kitalah yang lebih patut dikasihani. Karena Aat dengan polosnya tak banyak membicarakan orang lain, tidak mengerti maksiat, tidak mengeluh dan berpikir aneh-aneh. Dosanya sedikit, hisabnya sedikit, otomatis peluang Syurganya lebih luas. Allah sayang dengan Aat, sehingga ujian yang diberikan Aat di Dunia, akan menyelamatkannya serta digantikan dengan kenikmatan sesungguhnya yang jaaaauuuuhhhhhh lebih besar di Akhirat.
Cambukan yang pedih bagi kita yang tak lebih semangat ibadahnya dari Aat, tak lebih bersyukur, juga sering mengeluh dan tak ridho dengan takdir. Kita yang seharusnya malu, iri dan cemburu dengan Aat. Bisa jadi Allah lebih sayang dengan Aat ketimbang kita.
Tulisan ini sengaja dibuat untuk mengingatkan penulis akan sosok Aat, berharap suatu saat penulis bisa membaca ini kembali sebagai penyemangat dikala turunnya iman. Penulis berharap setiap tahun bisa ketemu dengan Aat. Dan kembali minta didoakan Aat, karena bisa jadi dia termasuk hamba yang shaleh dan yang lebih dekat dengan Allah..
Teringat nenek Aat yang meninggal tahun lalu, sosok yang paling sayang dengan Aat, tahun lalu masih sempat ketemu, orangnya baik sekali, dan sempat minta belajar tahsin surah Al-Fatihah dengan penulis. Sering kasih makanan, bahkan sang nenek kasih penulis uang jajan meskipun udh gede dan udh kerja, si nenek juga nangis saat penulis harus kembali lagi. Berharap penulis menetap di kampung untuk menghidupkan masjid disitu. Saat mendengar kabar meninggalnya si nenek, penulis sangat sedih dan menitiskan air mata.
Begitulah kehidupan orang-orang yang baik dan shaleh. Kepergiannya sangat menyayat hati. Meninggalkan kenangan baik. Begitupun kepergian beberapa guru dan teman penulis. Yang sangat terasa kepergiannya seperti sedihnya ditinggal oleh keluarga sendiri. Semoga Allah merahmati mereka, diri penulis, dan semua orang yang beriman lalu istiqomah di jalan yang Allah Ridhoi. Di Tengah gempuran ujian syahwat duniawi yang amat berat di zaman ini.
Komentar
Posting Komentar